Tarbiyah bukanlah segala-galanya, tetapi segala-galanya dimulai dari tarbiyah. Itulah hal yang pernah kita dengar menyangkut tentang uraian pencapaian dalam kehidupan. Tentunya yang dimaksud dengan segala-galanya adalah pencapaian kebenaran dan kebaikan yang istimewa. Dimana setiap orang memiliki impian terutama mencakup kesuksesan di dunia dan di akhirat. Kesuksesan itu tidak mudah diraih begitu saja, maka dimulai dari tarbiyah lah segalanya bisa dicapai. Insya Allah.
Maka setiap
orang yang pernah, sedang, dan akan terus berada dalam jamaah pastinya
senantiasa berikhtiar mencari dan menghidupkan aktivitas yang sejalan
dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasul yang dimulai dari halaqah-halaqah.
Halaqah menjadi suatu jaminan bagi seseorang untuk membentuk karakter
dan pribadi sebagai insan yang bersalimul aqidah, shahihul ibadah dan
seterusnya (karakter muslim).
Kebutuhan tentang halaqah haruslah
sering dipertanyakan dalam diri. Pada fitrahnya, kita memiliki kebutuhan
fisik yang bisa dipenuhi dengan substansi yang bersifat material,
ruhiyah yang dipenuhi dengan substansi yang tidak hanya melibatkan lima
indera, tetapi juga terkait kebutuhan jiwa, dan kebutuhan fikriyah yang
bisa terpenuhi dengan penambahan ilmu atau wawasan.
Jika ketiga kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, pasti ada gejolak permasalahan yang timbul dalam diri. Seperti halnya, fisik, ruhiyah dan fikriyah pun memiliki kebutuhan primer yang tidak bisa ditunda pemenuhannya. Maka untuk memenuhi kebutuhan itu dimulailah dengan halaqah. Halaqah adalah salah satu sarana untuk memenuhi kebutuhan fisik, ruhiyah dan fikriyah. Meskipun pada akhirnya setiap pemenuhan kebutuhan-kebutuhan itu kadarnya dikembalikan lagi pada diri masing-masing.
Maka halaqah merupakan
bagian dari hal paling penting dan paling dibutuhkan bagi setiap orang
yang menyadarinya. Ketika halaqah menjadi prioritas utama dari setiap
aktivitas, berarti seseorang telah menyadari pentingnya halaqah.
Pemahaman dan pentingnya halaqah pun akan terus berkembang seiring
perjalanannya dalam tarbiyah. Tidak menutup kemungkinan setiap orang
mengalami degradasi dalam halaqahnya. Ada yang pindah kelompok, ganti
murabbi, pindah wilayah atau semacamnya. Namun, pada akhirnya pengaruh
halaqah dalam kehidupan seseorang bergantung pada pemahaman dan caranya
menghidupkan halaqah.
Setiap orang akan membandingkan halaqah saat
bersama sejumlah A dengan sejumlah B. Yang perlu diingat adalah bahwa
perbandingan itu haruslah menjadi evaluasi cara menghidupkan halaqah.
Bukan menjadi kritikan yang malah menurunkan semangat diri untuk hadir
dalam halaqah. Seringkali terkonsep bahwa menghidupkan halaqah adalah
tanggung jawab murabbi. Padahal binaan atau mutarabbi pun turut andil
dalam menghidupkan halaqah. Inilah yang seharusnya dipikirkan oleh
setiap orang yang menyadari pentingnya halaqah.
Jika seseorang
mengharapkan dengan halaqahnya dapat meningkatkan kualitas ruhnya maka
hal yang pertama harus dilakukan adalah mengisi amunisi ruhiyah sebelum
halaqah. Karena akan sulit bagi seseorang menerima kekuatan ruhiyah yang
luar biasa jika ruhiyah nya kosong. Bayangkan saja ruh yang sedang
galau karena kurang tilawah, tidak ada qiyamul lail, tidak ada saum,
tidak ada amalan pribadi, pikiran semrawut karena banyak beban yang
harus ditanggung, bagaimana mungkin keadaan seperti itu bisa
terkondisikan untuk menangkap ruhiyah yang luar biasa.
Pada intinya pertanyaan mengenai sudahkah kita halaqah, bukan saja mengenai kehadiran kita dalam halaqah tetapi juga terkait bagaimana menghidupkan halaqah, baik di dalam maupun di luar halaqah. Tidak perlu mengandalkan murabbi untuk menghidupkan halaqah karena kita pun bisa turut berperan dalam menghidupkannya.
Murabbi adalah seseorang yang patut kita
hormati dan kita banggakan, tetapi tidak dengan mengkultuskannya. Jika
hanya karena ketidakcocokan dengan murabbi atau teman sehalaqahnya
seseorang menjadi enggan atau tidak menghadiri halaqah maka harus
dipertanyakan lagi pemahamannya tentang tarbiyah. Wajar jika seseorang
yang masih mentoring melakukan hal seperti ini, karena memang
pemahamannya masih belum pada kapasitasnya.
Bila ada hal yang
tidak disukai atau ketidakcocokan dari murabbi atau teman halaqah maka
hal ini merupakan bagian dari ujian. Ujian apakah bisa bertahan dan
tetap berjuang di jalan dakwah ini atau malah mundur ke belakang dari
barisan. Dan hal yang perlu dievaluasi dari ketidakcocokan itu adalah
apakah disebabkan karena sensitivitas diri atau pandangan subjektif
terhadap seseorang.
Jangan sampai ketidakcocokan itu menghalangi kita untuk senantiasa beribadah kepada-Nya. Bukankah dari halaqah kita bisa merasakan nikmat-Nya dengan menjalin ukhuwah. Bukankah dengan halaqah kapasitas ilmu kita semakin bertambah. Bukankah dengan halaqah ada penjagaan diri untuk meminimalisir kekhilafan sebagai manusia. Bukankah dengan halaqah kita bisa merasakan nikmatnya perjuangan dakwah meski tidak seberat dan sebesar perjuangan Rasulullah. Bukankah dengan halaqah kita bisa menempa diri untuk mempersiapkan kehidupan. Bukankah dengan halaqah kita bisa menyusun kehidupan akhirat yang semoga bisa lebih indah. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan. (dakwatuna.com)